Selasa, 17 Februari 2009

Sujud Jadi Jurkam


Mendekati pelaksanaan pemilu 2009, para calon legislatif (caleg) mulai berlomba-lomba menarik simpati warga dengan adu kreatif dalam berbagai kegiatan. Tertarik?

Yogi Isti Pujiaji, Wartawan Radar Jogja

---

TAK seperti biasanya, Sujud Kendang memakai pakaian mencolok: merah. Dan tak seperti biasanya pula, tas yang dibawanya berisi kertas-kertas lipatan dengan gambar khusus. Tak seperti biasanya pula, setiap habis menyanyikan lagu-lagunya, Sujud masih harus membagi-bagikan kertas-kertas dari dalam tasnya itu.

Memang, saat menjalani profesinya sebagai pengamen keliling kemarin, Sujud Kendang tak sekadar mengamen. Ia membawa misi tertentu. Ya, pria yang kini berusia 56 tahun itu ''dikontrak'' seorang politisi untuk melakukan sosialisasi. Dalam mengamen itu, Sujud pun didampingi sang politisi.

Ya, Sujud diminta mengamen dan membagikan leaflet pencalegan oleh caleg Henry Kuncoroyekti dari PDI Perjuangan yang maju dari Dapil 1 Kota. Brindil -panggilan akrab Henry- sengaja menyewa seniman kendang asal Jogja itu untuk berkeliling kampung sambil bernyanyi dan menari.

Brindil mengatakan, cara yang ditempuhnya cukup efektif. Selain warga merasa terhibur, tujuan untuk mengenalkan dirinya sebagi caleg juga terpenuhi. Tentu dengan harapan akan dipilih.

Menurut Brindil, apa yang dilakukannya sebagai upaya mengakomodir seniman Jogja yang selama ini terpingirkan. "Bahkan tidak terfikirkan oleh pemerintah," katanya.

Sujud menyanyikan beberapa lagu pop dan campursari. Juga lagu ciptaannya sendiri atau gubahan lagu humor yang diplesetkan dengan lirik agar pendengar memilih caleg yang menyewanya.

Sujud pun memberikan selebaran dan stiker itu kepada penghuni rumah yang dia kunjungi. "Maaf tidak terima receh (saat ini). Anda terima saja ini (stiker dan brosur). Dicentang ya nomor ini,"" ujar Sujud bak politikus handal saat menjelaskan metode pemilu 2009 kepada setiap orang yang ditemuinya. Tak hanya rumah-rumah warga, di setiap tempat tongkrongan atau pos kamling pun dikunjunginya.

Sujud berjalan dimulai dari kampung Joyonegaran,Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan. Salah seorang warga, Rahayu, 42, mengaku lebih apresiatif dengan model kampanye seperti yang dilakukan oleh Sujud.

"Selain tidak berisik (seperti kalau menggunakan kendaraan). Warga bias mendapat sosialisasi tentang bagaimana tata cara pemilihan caleg," tuturnya polos.

Minggu, 15 Februari 2009

Sujud Sutrisno, Pengamen Agung Indonesia


Pengamen paling legendaris, tak berlebihan, jika kita beri sebutan itu pada Sujud Sutrisno. Pria kelahiran 22 September 1953 ini sudah ngamen sejak 1964, saat ia masih belasan tahun. Hingga kini, warga Notoyudan GT II/1175 Yogyakarta ini masih setia dengan profesinya itu. Berbekal kendang, Sujud keluar masuk kampung menjual kemampuannya, main kendang dan nyanyi.

Padahal, mantan anggota Teater Alam ini terbilang sebagai seniman yang cukup kondang. Ia pernah tampil sepanggung dengan musisi kelas dunia.
Namun Sujud tetaplah Sujud. Tak menghalangi gengsinya untuk menjalankan pekerjaan rutinnya itu, walau berbagai penghargaan telah ia terima.

SANGAT pantas jika Kua Etnika menobatkan Sujud sebagai "Pengamen Agung Indonesia". Nama pengamen itu begitu populer di kampung-kampung di Yogyakarta. Sujud punya jadwal untuk mendatangi langganannya. Meski profesinya pengamen, namun Sujud punya istilah sendiri untuk pekerjaannya itu. Yaitu PPRT alias penarik pajak rumah tangga.
Ia tak pernah memasang tarif. Berapa pun yang diberikan tuan rumah, diterimanya. Tak dikasih, no problem. Padahal, jika tampil untuk acara komersial, Sujud mematok Rp 250 ribu. "Saya harus bisa membedakan mana yang namanya ngamen dan mana penghasilan berdasar keikhlasan tuan rumah. Begitu juga bila diundang di acara 17-an, memperingati Hari Sumpah Pemuda atau kegiatan sosial lain, saya tak pasang tarif," tandasnya.
Sujud mewarisi darah seni orangtuanya. Bapaknya, Wirosuwito, ahli cokekan. Tak mengherankan bila ia juga mahir memainkan kendang. Ketika SMP, ia sudah mengamen dengan kendangnya itu. Hasilnya digunakan untuk biaya sekolah. Sayang, Sujud tak lulus SMP. Ia keluar di tengah jalan. Persoalan biaya yang menjadi kendalanya. Akhirnya Sujud keterusan menekuni profesinya sebagai pengamen.
Setelah isteri yang sangat dicintainya, Suwakidah, meninggal tahun lalu, Sujud selalu bangun pagi. Paling lambat pukul 05.30, ia pasti sudah bangun. Ia mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci atau merebus air. Di rumah kontrakannya, berukuran 2x7 meter, Sujud tinggal sendirian. Untuk urusan makan, Sujud tidak masak sendiri, tapi beli di warung. Alasannya, lebih praktis.
***
SUJUD mulai berangkat kerja, setelah tugas rumah rampung. Jam kerjanya dimulai pukul 09.00 sampai 14.00. Hanya seputar wilayah Kota Yogyakarta saja yang dijelajahinya. Setiap kali masuk kampung, puluhan anak kecil selalu menyambutnya. Bahkan mereka selalu menguntit ke mana Sujud beraksi. Ada salah seorang anak yang dulu sering mengikuti Sujud, kini menjadi orang sukses di luar Jawa. Ketika mendapati Sujud masih menenteng kendang dari kampung ke kampung, orang tersebut heran.
"Saya dibilang awet muda," ucap Sujud tanpa bermaksud jumawa.
Berjam-jam berjalan kaki membuat tubuhnya jadi lelah. Bila sudah penat, ia istirahat sambil makan siang. Begitu juga pulangnya ke rumah, bila tubuh masih kuat diajak kompromi, Sujud akan jalan kaki. Tapi bila betul-betul sudah loyo, ia akan naik bus kota atau Kobutri.
Menurutnya, minimal 20 hari dalam sebulan yang digunakan untuk ngamen. Tapi itu bukan harga mati. Tergantung kondisi fisik dan job yang masuk. Sebagai pengamen kendang yang punya ciri khas, Sujud sering diundang mengisi berbagai acara. Seperti acara kampus, launching sebuah produk atau acara komersial lain. Ia pernah tampil di The First Indonesia International Drum Festival. Sempat pula nongol di acara Tembang Kenangan Indosiar.
Sujud punya alasan kenapa harus pulang siang hari. Menurutnya, ia takut mengecewakan tamu-tamu yang banyak berdatangan ke rumahnya. "Bila saya seharian pergi, tentu mereka akan kecelik. Makanya, sore hari saya gunakan untuk menerima para tamu," tandasnya.
***
NGOBROL dengan tetangga adalah kegiatan untuk mengisi waktu luang, sore harinya. Itu dilakukan setelah ia membersihkan pekarangan rumah. Malamnya, Sujud lebih banyak tinggal di rumah. Nonton televisi atau mendengarkan radio. Ia jarang sekali memanfaatkan waktu untuk menciptakan lirik lagu sebagai modal ngamennya. Katanya, ia sudah kelelahan sekali jika malam tiba.
Lagu-lagu yang dinyanyikan Sujud memang tak pernah diganti, hingga terkesan monoton. Namun kemonotonan itu justru menjadi cira khas Sujud. Orang bisa menduga lagu yang akan ditampilkan.
mata indah bola pingpong
ana gadis kecemplung genthong
arep mulih numpang andhong
tekan ngomah ketiban dondhong

Gareng Rakasiwi, pelawak yang sering memparodikan gaya dan aksi Sujud, tak menampik jika pengamen itu nantinya akan jadi pengamen yang dikenang sepanjang masa. "Bisa jadi namanya akan selegendaris Basiyo. Kelebihan Sujud terletak pada keluguannya," ujar pelawak bujang lapuk itu.
Sampai kapan Sujud akan bertahan dengan pekerjaannya itu?
Sujud yang selalu mengenakan blangkon, surjan dan kumis palsu ala Asmuni Srimulat ini mengaku akan berhenti ngamen jika kondisinya tidak memungkinkan lagi. Tapi selama masih kuat, akan terus dijalaninya.
"Jika sudah tidak ngamen, mungkin saya akan buka warung kecil-kecilan," tutur pria yang dikenal baik hati itu. (Latief/Arwan)

Sabtu, 14 Februari 2009

Sujud Sutrisno pengamen jalanan


Pernah aku melihat musik di taman ria
Iramanya melayu duhai sedap sekali2x
Sulingnya dari bambu, gendangnya kulit lembu
Dangdut suara gendang ingin serta berlenggang2x
Terajana...terajana...

Judul lagu dangdut ini sekarang dijadikan satu mata acara TV "dut" kita dengan lagu pembukaannya ya TeraJana itu tadi. Bait lagu tadi oleh penyanyi dangdut cewek kita yang pakaiannya yang menutup tubuh adalah sepatu lars panjang dan menggunakan selendang bulu, maka refrain Terajana agak disengau-dan celat-kan menjadi Telazhauna...telazhauna.

Lagu karangan Oma Irama sebelum dia jadi beneran seperti Oma-Oma yang crigis" seperti sekarang saya dengar pertama kali di Yogya sekitar 1974 oleh "satria berkendang" dia adalah Sujud Sutrisno di Nyutran-Yogyakarta. Saya masih ingat dia menyanyi dengan suaranya yang serak karena terlalu banyak tarik urat. Kadang matanya merem melek, yang seringkali mengingatkan saya akan penyanyi tuna-netra.

Itulah guru dangdut saya secara sekelebatan. Lagu pertama Terajana yang langsung terekam dalam ingatan saya, menyusul lagu kedua yang ia nyanyikan adalah lagu Yoan Tanamal : Hatiku Sepi Ditinggal Pergi dst... Sebelum akhirnya Yoan mencari keramaian dengan jarum suntik.

Usai dengan kedua lagunya, biasanya ia memutar radio transistor sebagai bonus lagu (atau malahan siaran pedesaan klompencapir) sebelum ia pamit setelah menerima saweran ala kadarnya. Ia konon tidak pernah mematok besar sawerannya. Tak dibayarpun tak mengapa. Kemana Sujud pergi, anak-anak di Nyutran mengikuti kemana langkahnya sampai ia menghilang dibalik gang yang lain.

Hari itu juga langsung hati saya tertambat dengan kejenakaannya memlesetkan lagu. Anak dari Wirosuwito, memang menuruni bakat seni dari sang ayah yang ahli cokekan. Kendati sudah pernah muncul dipanggung skala nasional, dipanggil mbarang di hotel mewah, namun sujud tetap tidak bermaksud meninggalkan pekerjaannya sebagai pengamen solo keluar masuk kampung mendatangi pelanggannya.

Jam kerjanya 09:00 sampai 14:00 maklum dia juga sudah beranjak tua, dan tinggal sendirian di rumah petak 2x7 meter. Isterinya meninggalkannya setahun lalu.

Tak berlebihan jika pengamen kelahiran 22 September 1953 dan tercatat sebagai penduduk Notoyudan GT II/1175 dianggap pengamen legendaris walaupun secara financial dia tidak kaya (miskin malah), tapi dia berbahagia dengan profesinya.

Sepertinya Sujud mengingatkan saya yang seringkali mengapa harus menganggap profesi orang lain lebih baik daripada profesi yang saya geluti. Ah Sujud Sutrisno bin Wirosuwito, anda layak jadi guru Spiritual saya hanya dengan 5 menit menyaksikan anda menyanyi. Ruarrr Biasa.

(sumber http://mimbar2006.blogspot.com)

Pemain Kendang itu Bernama Pak Sujud


“Kamu nggak tau Sujud Sutrisno?” tanya sang MC dimalam itu.

“Iya aku baru denger namanya saja kemarin” jawabku yang memang benar-benar tak tau siapa pemain kendang tunggal yang katanya lucu itu.

Membayangkan duduk setengah jam dan menyaksikan orang bermain kendang saja sudah membuatku malas. Rasa heran dan aneh pun kurasakaan sewaktu melihat semua orang menantikan permainan kendang sang seniman itu. Tapi ternyata tidak, aku justru tertawa geli saat sang seniman kendang itu mulai menyanyi.

Sujud Sutrisno atau yang akrab disapa dengan Sujud Kendang adalah seorang seniman asal kampong Notoyudan, Yogyakarta. Hanya dengan bermodalkan sebuah kendang, microphone serta kostum kebangsaan berupa blangkon, surjan dan kumis palsu ala Asmuni Srimulat, Sujud mulai menyanyi dan menghibur semua tamu pada pesta ulang tahun tetanggaku. Berbagai usia mulai dari yang tua, remaja hingga anak-anak pun terlarut dalam gelak tawa mendengar nyanyiannya.

Lahir dikalangan keluarga seniman 55 tahun yang lalu telah membuatnya mahir memainkan kendangnya. Ayahnya Wiro Suwito merupakan pakar cokekan *penyajian karawitan atau klenengan dengan instrument yang terbatas seperti kendang, gambang, dan siter* yang mahir dalam bermain karawitan. Dari sanalah ia mulai mempelajari karawitan dan kemudian memilih kendang sebagai alat musik favoritnya.

Sujud selalu menyebut dirinya sebagai “PPRT” atau “Pemungut Pajak Rumah Tangga”, karena biasanya ia akan mendatangi satu rumah ke rumah lain untuk bernyanyi dan berharap kebaikan dari penghuni rumah. Hal itu pulalah yang dikatakannya saat akan mulai bernyanyi di pesta malam itu.

Sujud tidak menyanyikan lagu-lagu kondang milik band-band terkenal seperti Peterpan, Sheila on 7 atau pun lagu-lagu lawas yang pernah berjaya dimasanya dulu. Ia justru melantunkan lagu dengan liriknya diciptanya penuh nuansa humor. Nah seperti inilah lirik lagu yang dinyanyikannya…..


Mata Indah Bola Pingpong
Ana bocah kecemplung gentong
Ngejak mulih numpak andong
Tekan ngomah ketiban dondong


Itulah sepenggal syair lagu Mata Indah Bola Pingpong yang sudah digubah dengan syair humor ala Sujud Sutrisno. Berbagai jenis genre musik muali dari lagu anak-anak, pop, dan dangdut sering digubahnya menjadi syair-syair humor yang dapat membangkitkan gelak tawa penontonnya. Syair musik humor inilah yang membuat Sujud disenangi dan selalu dinanti oleh banyak orang. Dan semenjak malam itu sepertinya aku akan selalu menantikan nyanyian kocak ala Sujud Sutrisno.

(sumber http://namakuputri.wordpress.com)

Rabu, 28 Januari 2009

Prestari Yang Pernah diraihnya

• Tampil di "Pisowanan Agung" di Kraton Kesultanan Yogyakarta di hadapan Sri Sultan Hamengkubuwono X pada tanggal 20 Mei 1998.
• Kua Etnika, sebuah grup musik yang dipimpin oleh Jaduk Ferianto, memberi penghargaan kepada Sujud dengan menjulukinya sebagai "Pengamen Agung" Indonesia.
• Penampil dalam The First Indonesia International Drum Festival.
• Konser Tunggal di Bantul pada tanggal 25 April 2001.
• Penampil dalam Festival Gamelan Yogyakarta ke-7 pada tahun 2002.

Lirik Lagunya Unik dan Banyak Orang Suka

Di antara lagu-lagu yang sering ia lantunkan di dalam medley ialah "Kolam Susu" (Koes Bersaudara), "Bunder-bunder" (Koes Plus), "Pring Gading" (Koes Plus), "Muda-Mudi" (Koes Plus), " Kuncung" (Didik Kempot), "Mata Indah Bola Ping-pong" (Iwan Fals), "Susana" (Ari "Billboard" Wibowo), "Ani" (Rhoma Irama), lagu-lagu daerah, lagu-lagu barat tahun 1970-an, dan lagu anak-anak legendaris seperti "Bobby", "Hely", "Semut-Semut Kecil", "Satu Tambah Satu", dan "Burung Kakatua". Medley lagu-lagu itu dilantunkan dengan tafsir khas ala Sujud.

Penampilannya penuh dengan improvisasi dan ia tidak pernah menyanyikan lagu dua kali dalam setiap satu medley. Improvisasi lirik lagu muncul secara spontan, mengandung parodi, lelucon, sindiran, kritik sosial, dan terkadang diselingi hal-hal yang "vulgar". Sujud mengatakan bahwa dia berusaha mengekspesikan keluhan rakyat jelata.
Tipikal suaranya memiliki karakteristik teknik vokal orang Jawa. Irama kendang merunut pada pola irama empat ketukan.

Kesederhanan Menjadi Kekuatan Sujud

Sebagai seorang musisi solo, bermain kendang bukanlah sekedar soal mencari uang, melainkan juga raihan jiwa. Di dalam konsepnya, Sujud membuat musik yang ia mainkan dapat menjadi pembebas tekanan jiwa (stres).

Terhadap musisi jalanan lainnya, Sujud membedakan musik yang ia mainkan. Ia menata ulang (re-arrange) musik pop yang kebanyakan dari era tahun 1970an. Sujud suka membuat orang lain tertawa saat mendengarkan lagu dan musik yang ia mainkan. Bahkan seringkali ia memparodikan lagu-lagu yang populer di masyarakat.

Keunikan dan kekayaan bermusiknya secara sederhana berdasarkan komninasi olah vokalnya dan kepiawaiannya dalam memainkan kendang. Ciri khas penampilannya ialah memparodikan atau menyanyikan lagu-lagu pop secara medley atau sambung menyambung tanpa terputus, baik dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Jawa. Meski lagu-lagu itu dimainkan secara medley, penyingkatan atau perubahan ketukan kendang yang dilakukan Sujud menjadi tanda sebuah lagu baru akan ia nyanyikan dalam medley lagu tersebut.

Jadwal Ngamen Yang Tertib Sekali

Sujud mengatur jadwal kerja. Dia mulai berangkat kerja, setelah tugas rumah rampung. Jam kerjanya dimulai pukul 09.00 sampai 14.00. Hanya seputar wilayah Kota Yogyakarta saja yang dijelajahinya. Dalam sebulan dia hanya mengamen selama 20 hari dan selebihnya dia gunakan untuk istirahat. Tapi itu bukan harga mati. Tergantung kondisi fisik dan job yang masuk.

Sebagai pengamen kendang yang punya ciri khas, Sujud sering diundang mengisi berbagai acara. Seperti acara kampus, launching sebuah produk atau acara komersial lain. Ia pernah tampil di The First Indonesia International Drum Festival. Sempat pula nongol di acara Tembang Kenangan Indosiar. Sujud punya alasan kenapa harus pulang siang hari. Menurutnya, ia takut mengecewakan tamu-tamu yang banyak berdatangan ke rumahnya.
Sujud yang selalu mengenakan blangkon, surjan dan kumis palsu ala Asmuni Srimulat ini mengaku akan berhenti ngamen jika kondisinya tidak memungkinkan lagi. Tapi selama masih kuat, akan terus dijalaninya.

NRIMO ING PANDUM falsafah hidupnya

Sujud tidak menganggap dirinya sebagai pengamen. Sujud cenderung lebih suka menganggap dirinya sebagai "PPRT" atau "Pemungut Pajak Rumah Tangga". Hal ini karena biasanya dia akan mendatangi satu rumah ke rumah lain untuk bernyanyi dan berharap kebaikan dari penghuni rumah. Bagi penghuni rumah yang ia datangi, bakat besar yang dimiliki Sujud adalah sebuah pertunjukan yang menghibur daripada sesuatu yang mengganggu. Oleh karenanya penghuni rumah yang ia datangi pun menanggapi dengan baik permainan musiknya. Saat Sujud mengamen dari pintu ke pintu, anak-anak dari lingkungan di sekitarnya senantiasa mengikuti dan melihat permainan musiknya.
Sujud sangat dihormati oleh pengamen jalanan dan seniman lainnya. Sujud berkata bahwa kendala utama dalam karir bermusiknya (mengamen) ialah hujan. Setiap kali hujan turun maka itu akan menghambat dirinya dalam "bekerja dari pintu ke pintu" karena bermain kendang sambil memegang payung adalah hal yang sulit. Mantan anggota Teater Alam ini terbilang sebagai seniman yang cukup kondang. Ia pernah tampil sepanggung dengan musisi kelas dunia

Sebagaimana orang Jawa sejati, Sujud percaya akan salah satu Falsafah Jawa yaitu "nrimo ing pandum" yang berarti menerima suratan takdir dengan kesabaran dan kerendahan hati. Menurut Sujud, takdir atas dirinya berada di tangan Tuhan. Setiap kali mengakhiri permainan musiknya, dia tidak pernah berharap bayaran, namun menerima apa yang orang lain berikan secara ikhlas.Saat usia beranjak dewasa, Sujud menambahkan nama "Sutrisno" di belakang nama "Sujud" sebagaimana kelaziman pada masyarakat Jawa.

Saat ini, Sujud tinggal seorang diri di sebuah rumah kontrakan di Kampung Notoyudan GT II/1175 RW.23, Pringgokusuman, Gedongtengen, Yogyakarta. Sejak kematian istrinya, Suwakidah, dia melakukan sendiri semua pekerjaan rumah tapi untuk makan ia membelinya di warung makan di sekitar tempat tinggalnya.

Lahir Dari Bakat Alam

Sujud lahir pada tahun 1953 dalam keluarga seniman. Ayahnya, Wiro Suwito, yang berasal dari Klaten, Jawa Tengah, adalah seorang seniman cokekan dan pakar dalam Karawitan. Karena kondisi keuangan yang lemah pada saat itu memaksa Wiro Suwito untuk menjadi musisi jalanan alias pengamen. Jenis musik yang dimainkan oleh Wiro Suwito selama mengamen adalah uyon-uyon, salah satu jenis musik tradisional Jawa dengan tempo pelan dan diselingi "senggakan".

Sujud belajar Karawitan dari ayahnya, Wiro Suwito. Sujud menyadari bahwa alat musik yang menjadi favoritnya adalah kendang maka kemudian ia memutuskan untuk mengkhususkan diri bermain kendang.

Sujud menjadi seorang pengamen jalanan untuk membiayai sekolahnya. Meskipun dia tidak menyelesaikan pendidikannya di tingkat SLTP namun Sujud tetap bersemangat untuk belajar. Dia telah mampu mencari uang dengan bernyanyi dan bermain kendang sejak tahun 1964.